Jakarta, BN Nasional — Guru honorer semestinya mendapatkan penghidupan yang layak. Guru honorer berjibaku bekerja mewujudkan mandat kemerdekaan. Amanat yang wajib diupayakan oleh penyelenggara negara dengan berbagai cara.
Temuan Komnas HAM yang disampaikan dalam rapat dengan Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer DPD RI, ada potensi pelanggaran HAM dalam tata kelola guru honorer. Terutama hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI tahun 1945; Pasal 23 DUHAM, dan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Ekosob. Hak atas pendidikan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945; Pasal 12 UU No. 39/1999 tentang HAM.
Potensi pelanggaran HAM itu dapat diuraikan dari tugas dan tanggung jawab guru PNS maupun honorer yang sama, namun perlakuan antara keduanya diskriminatif dalam hal status kepegawaian dan tingkat kesejahteraan. Sudah jadi pengetahuan publik, jika guru honorer umumnya dalam kondisi penghidupan kurang layak. Bahkan kurang manusiawi.
Kisah mendapatkan gaji 250 ribu perbulan dan dirapel pertiga bulan sudah amat sering kita dengar. Ada yang menyiasati hal itu dengan melakoni banyak pekerjaan tambahan. Alhasil, guru honorer kehilangan fokus dalam mendidik. Implikasinya tentu saja pada kualitas luaran pendidikan kita. Ini seperti jebakan lingkaran setan yang tidak pernah dituntaskan.
Betapa menyedihkan menyaksikan para pahlawan bangsa itu ketika dalam seleksi PPPK 2021 tahap pertama sebulan lalu, sejumlah tenaga pendidik yang sudah sepuh terpaksa berjuang mengikuti penjaringan. Bersusah payah mengikuti test berbasis elektronik. Perangkat yang teramat canggih bagi mereka yang mengabdi untuk bangsa sejak era kapur tulis.
Tampil apa adanya, raut muka para pahlawan bangsa itu penuh pengharapan. Ingin kepastian nasib. Bagi para guru honorer, seleksi pegawai pemerintah baik yang status PNS maupun PPPK, seperti seberkas cahaya yang bisa menuntun keluar dari labirin gelap.
Sayangnya memang, seleksi PPPK yang digelar pemerintah belum bisa menjawab aspirasi fundamental guru honorer yang mengharapkan pengangkatan sebagai PNS. Apalagi, seleksi PPPK tidak mampu mengakomodir seluruh guru honorer. Terutama terkendala dalam passing grade dan berbagai persoalan teknis seleksi. Hal itu terlihat rendahnya tingkat penerimaan dibanding jumlah formasi yang dibuka.
Masalah menahun soal kualifikasi guru memang belum tuntas. Maka tidak bisa diselesaikan dengan seleksi yang bahkan tidak adil dan tidak berpijak pada realitas kehidupan guru di lapangan. Akhirnya, seleksi PPPK tak sedikit berujung rasa kecewa berlipat ganda. Bahkan duka. Seperti kasus bunuh diri seorang guru honorer di Kabupaten Lombok Tengah yang diduga dipicu oleh depresi setelah gagal tes PPPK.
Belum lagi masa kontrak yang sangat singkat dan temporer. Artinya, PPPK sebetulnya bukan jawaban akhir yang diharapkan para pahlawan bangsa ini. PPPK bahkan berpotensi semakin memperpanjang nasib terkatung-katung guru honorer.
Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan berjumpa dengan banyak organisasi guru, mereka senada dalam aspirasi agar diangkat menjadi PNS. Kendati jalan itu tampaknya masih sangat jauh. Karena problem tenaga honorer ini memang jadi persoalan lintas kementerian/lembaga. Mulai dari Kemendikbudristek, Badan Kepegawaian Negara, Kemendagri, Kemenkeu, hingga Pemerintah Daerah.
Sayangnya, koordinasi dan komunikasi antar lembaga justru melihat persoalan guru secara parsial. Akibatnya, kebijakan pemerintah pusat cenderung bersifat sektoral dan parsial. Masing-masing hanya melihat dari sperspektifnya sendiri. Kemendikbudristek hanya mengeluhkan soal kekurangan guru, Kemenpan RB dan Kemendagri berkutat pada soal ketersediaan formasi PNS, BKN terjebak pada soal administratif dan pengawasan. Demikian pula Kemenkeu dan Pemda sering saling lempar tanggungjawab soal penganggaran.
Menurut perhitungan pemerintah, hingga tahun 2024 nanti kekurangan guru diprediksi mencapai 1.312.759 orang. Artinya, paling tidak ada 400 ribu rekrutmen guru baru setiap tahun dalam tiga tahun ke depan untuk memastikan tidak terjadi defisit guru. Agar tidak berlarut-larut dan menimbulkan implikasi yang lebih besar, persoalan guru honorer saat ini harus dituntaskan.
Jika tidak, hal ini akan berimplikasi terhadap capaian pembangunan manusia di Indonesia ke depan. Terlebih lagi bangsa ini akan memperoleh bonus demografi pada tahun 2030-2040 mendatang. Betapa ironis, jika ujung tombak pembangunan manusia Indonesia dibiarkan berjibaku dengan nasib yang tak pasti.
Untuk jangka pendek, rekrutmen PPPK yang terkesan dipaksakan menyiasati aspirasi honorer agar diangkat jadi PNS, semestinya dibuat lebih fleksibel. Kuantifikasi ambang kompetensi guru dalam bentuk passing grade, dapat ditinjau kembali keberadaannya dalam konteks rekrutmen tenaga kependidikan. Kebijakan afirmasi yang diberikan sejauh ini masih dianggap kurang adil. Apalagi jika berbicara guru honorer yang berusia di atas 35 tahun yang terancam kandas masa depannya, telah punya seabrek pengalaman mengajar.
Dalih keterbatasan anggaran yang selama ini jadi argumen meniadakan rekrutmen guru PNS sangat tidk beralasan. Dari aspek urgensi, memberikan kepastian nasib kepada guru honorer jauh lebih prioritas dibandingkan agenda pindah ibukota negara atau pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung yang menggerogoti APBN. Presiden sebaiknya menunda semua agenda pembangunan fisik tersebut, sampai persoalan yang berpotensi menggiring pemerintahan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terselesaikan.