JAKARTA, BN NASIONAL – Laporan terbaru Energy Shift Institute (ESI) mengungkap potensi celah besar dalam Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Dimasukkannya industri tambang dan pengolahan sebagai kegiatan transisi tanpa tuntutan pengurangan emisi secara nyata dinilai bertolak belakang dengan ambisi Indonesia menjadi pemimpin global dalam industrialisasi hijau.
Laporan berjudul “Two Mining Powerhouses, Two Different Standards: Australia’s and Indonesia’s Contrasting Taxonomies” ini membandingkan standar taksonomi keuangan Indonesia dan Australia. Meski keduanya adalah eksportir besar batu bara dan bergantung pada sektor tambang, pendekatan yang diambil sangat berbeda.
Jika Australia mensyaratkan strategi dekarbonisasi berbasis ilmiah untuk bisa masuk dalam kategori transisi, Indonesia justru lebih longgar. TKBI memberikan ruang pada aktivitas industri yang masih menggunakan PLTU batu bara, selama ada komitmen atau kepatuhan terhadap regulasi nasional.
“Jika tujuan taksonomi Indonesia adalah untuk mengarahkan investasi menuju masa depan industri pertambangan dan mineral yang tangguh dan rendah karbon, maka kerangka saat ini justru berisiko menghasilkan dampak sebaliknya. Tanpa reformasi segera, sistem ini berpotensi mengunci ketergantungan pada batu bara, menyesatkan arus investasi, dan mengganggu kepercayaan investor terhadap agenda transisi hijau nasional,” kata Hans Sutikno, peneliti ESI dan rekan penulis laporan.
Sustainable Finance Taxonomy Australia, menurut laporan, mengklasifikasikan sektor tambang dan pengolahan mineral sebagai aktivitas transisi hanya jika mereka memiliki strategi dekarbonisasi berbasis sains. Fasilitas yang masih menggunakan listrik dari PLTU batu bara secara otomatis tidak masuk kualifikasi transisi.
Sebaliknya, TKBI memungkinkan proyek tambang mendapatkan label transisi cukup dengan mematuhi regulasi nasional dan menyampaikan komitmen dekarbonisasi, meskipun tanpa verifikasi bukti nyata pengurangan emisi.
“Dalam taksonomi Indonesia tidak ada keharusan untuk menunjukkan pengurangan emisi secara bertahap, tidak diwajibkan menunjukkan bukti nyata pengurangan emisi, hanya dengan menyampaikan rencana atau komitmen pada standar iklim global untuk mendapat label transisi. Secara esensial, taksonomi Indonesia lebih menghargai niat daripada dampaknya,” lanjut Hans.
Padahal, investor global kini semakin ketat dalam menilai kredibilitas kebijakan iklim dan industri hijau. Di tengah proses revisi taksonomi yang tengah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Kementerian ESDM, laporan ini menjadi peringatan penting.
“Taksonomi bukan sekadar kerangka teknis, tetapi menjadi sinyal strategis yang menunjukkan arah suatu negara. Kredibilitas ambisi industri hijau Indonesia bergantung pada keberhasilan menyusun taksonomi ini dengan benar,” tegas Christina Ng, Managing Director ESI.
Sebagai informasi, taksonomi keuangan berkelanjutan adalah sistem klasifikasi resmi untuk menentukan aktivitas ekonomi yang ramah lingkungan (hijau), sedang melakukan transisi (transisi), dan tidak berkelanjutan. Taksonomi ini menjadi pedoman penting bagi investor dan pembuat kebijakan dalam menavigasi arah pembangunan ekonomi rendah karbon di masa depan.





