JAKARTA, BN NASIONAL – Perusahaan batu bara Indonesia tengah berada di persimpangan penting. Laporan terbaru Energy Shift Institute (ESI) menilai, arus kas yang kuat dari keuntungan jumbo selama lima tahun terakhir seharusnya menjadi modal awal untuk segera melakukan diversifikasi bisnis dan memulai transisi energi secara strategis—sebelum terlambat.
“Gabungan faktor kepercayaan pasar pada sektor batu bara, kestabilan permintaan dan pasokan dalam jangka menengah, serta profitabilitas yang cukup terjaga, menempatkan Indonesia, eksportir batu bara termal terbesar di dunia, pada posisi yang ideal untuk menggunakan arus kas saat ini guna merancang transisi yang lebih teratur. Untuk itu, kami mendorong perusahaan tambang Indonesia untuk meninggalkan sikap wait-and-see,” kata Putra Adhiguna rekan penulis laporan.
Laporan berjudul “Coal in Indonesia: Paradox of Strength and Uncertainty” itu mengungkap bahwa sektor pertambangan dan jasa batu bara membukukan laba bersih US\$31,4 miliar sepanjang 2019 2023 hanya kalah dari sektor perbankan. Produksi juga mencapai rekor tertinggi sebesar 836 juta ton pada 2024, naik 7,9% dari tahun sebelumnya, meskipun dunia tengah mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
Namun, ESI mengingatkan, performa keuangan yang kuat ini tidak akan berlangsung lama. “Kemampuan industri batu bara menghasilkan keuntungan besar dalam beberapa tahun terakhir hanyalah lonjakan sementara, sebuah karakter industri komoditas yang kerap berfluktuasi, dan bukan keunggulan struktural. Apalagi periode harga tinggi yang berkepanjangan tampaknya sudah berlalu,” ujar Hazel Ilango, principal dan pemimpin kajian transisi batu bara Indonesia di ESI.
Kontribusi sektor ini memang signifikan, baik terhadap produk domestik bruto nasional—sekitar 3,6%—maupun di daerah-daerah penghasil utama seperti Kalimantan Timur (40%), Sumatra Selatan (25%), dan Kalimantan Selatan (15%). Namun, tanpa strategi transisi yang jelas, peran ini berpotensi terus menyusut.
Melalui analisis SWOT terhadap 12 perusahaan batu bara, ESI menyoroti kekuatan yang bisa menjadi modal transisi: aset tambang yang mature dengan kebutuhan investasi rendah, profil risiko keuangan yang sehat, dan rasio utang-ekuitas rata-rata hanya 21%—jauh lebih rendah dibanding rata-rata global di atas 100%.
Namun tantangan tetap besar. Ketergantungan tinggi pada ekspor ke Tiongkok dan India (63% pada 2023), dominasi keuntungan oleh segelintir perusahaan, hingga regulasi pemerintah seperti kewajiban pasar domestik (DMO), retensi devisa (DHE), dan penyesuaian royalti yang lebih tinggi, menambah kompleksitas.
“Menemukan insentif bagi sektor ini untuk beralih ke bisnis yang lebih berkelanjutan sangat penting agar perusahaan-perusahaan ini tetap dapat berkontribusi bagi masa depan ekonomi Indonesia dan daerah-daerah penghasil batu bara,” kata Putra.
Sejauh ini, baru sedikit perusahaan yang mulai menjajaki energi terbarukan dan sektor non-batu bara lainnya, meski kebanyakan masih dalam tahap rencana awal. Ilango mengingatkan, “Perusahaan yang menunda perubahan demi mengejar keuntungan jangka pendek, atau hanya menunggu cadangan habis, justru akan membatasi fleksibilitasnya dan meningkatkan risiko jangka panjang,” kata Ilango.
Apalagi, lanskap global terus berubah cepat. “Di Tiongkok, importir batu bara terbesar dari Indonesia, lebih dari tiga perempat pertumbuhan permintaan listriknya dipenuhi oleh energi bersih. Ini menunjukkan arah yang tidak bisa lagi diabaikan oleh Indonesia dan harus segera direspons dengan strategis,” tegas Ilango.





