JAKARTA, BN NASIONAL – Awal tahun 2025 membuat penambang menjerit atas kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu yang menyuarakan hal tersebut adalah Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) terkait Revisi Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) APNI, Meidy Katrin Lengkey mengatakan, para penambang di APNI sudah melakukan penambang secara puluhan tahun dan memiliki pengalaman serta finansial, namun baru tahun 2025 merasa kesulitan dengan kenaikan PPN 12 persen dari pemerintah.
“Di awal tahun kami dibuka dengan PPN 12 persen yang sangat berdampak kepada pertambangan. Kenapa alat berat itu masuk dalam barang mewah yang akhirnya harga alat berat itu sudah naik,” kata Meidy saat RDPU dengan Baleg di DPR RI, Selasa (22/1/2025).
Kebijakan selanjutnya, terkait dengan penerapan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bio Solar yang sebelumnya dari B35 menjadi B40 yang menyebabkan kenaikan biaya produksi bahan bakar.
“Minggu kedua di Januari kami didampak lagi dengan B40. Mau nggak mau kami cost produksi bertambah,” jelas Meidi.
Kemudian, terdapat lagi dengan pembaruan aturan mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) yang sebelumnya ditematkan di Indonesia selama 3 bulan menjadi 1 tahun.
“Di minggu ketiga, barusan ini kami ditambah lagi dengan DHE hasil ekspor 100% satu tahun. cost-nya makin bertambah,” ujar Meidi.
Kebijakan terakhir, mengenai rolayti untuk nikel yang akan ditingkan oleh pemerintah dari yang sebelumnya 10 persen menjadi 15 persen. Kebijakan ini tentu akan mengurangi keuntungan dari penambang.
“Kemarin kami dapat isu lagi royalty yang tadi saya sebut 10% akan naik 15%,” katanya.
Selain dengan kebijaakan dari pemerintah, harga nikel dunia yang mengacu pada London Metal Exchange (LME) juga sedang mengalami trend penurunan. Tentunya hal ini mengurangi pendapatan penambang.
“Tapi coba lihat, cost produksi sudah bertambah, harga makin turun. Harga LME, nikel itu makin turun. Sejak awal tahun kemarin harga makin turun,” jelasnya.
Melalui berbagai aspek kebijakan tersebut, Meidi mengaku, perusahaan yang sudah mendapatkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) memilih untuk tidak melakukan penambangan.
“Beberapa tambang yang dapat RKAB tidak mau produksi, Bapak-Ibu. Kenapa? Karena cost produksi naik, tapi penjualannya makin turun,” ujarnya.
Tidak sampai disitu, perusahaan smelter juga saat ini lebih memilih dalam membeli bijih nikel dari penambang. Pasalnya, banyak smelter yang tidak menerima dengan kadar 1,8 karena terdapat unsur mineral silika dan magnesium.
“Rasionya itu banyak yang nggak compatible. Jadi nggak semua tambang nikel itu bisa dimakan oleh smelter yang ada sekarang. Tergantung strukturnya. Jangan bilang, oh kadar tinggi 1,8 bisa dimakan. Nggak juga, Bapak-Ibu. Yang sekarang yang dicari adalah kobalt-nya,” jelas Meidi