JAKARTA, BN NASIONAL – Kilang Pertamina Internasional (KPI), subholding Refining & Petrochemical, memulai produksi bahan bakar nabati (BBN) B40 sebagai langkah strategis mendukung swasembada energi nasional sekaligus mewujudkan target net zero emission pada 2060. Langkah ini sekaligus menguatkan komitmen Indonesia terhadap energi terbarukan.
Program B40 ini didasarkan pada Keputusan Menteri ESDM No. 341.K/EK.01/MEM.E/2024, yang mengamanatkan pemanfaatan bahan bakar solar dengan campuran biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen. Kebijakan ini menjadi kelanjutan dari program sebelumnya seperti B20, B30, dan B35.
Produksi B40 dipusatkan di dua kilang utama, yakni Kilang Plaju di Sumatera Selatan dengan target produksi 119.240 kiloliter (KL) per bulan, dan Kilang Kasim di Papua Barat Daya sebesar 15.898 KL per bulan. Penyaluran perdana telah dilakukan, dengan distribusi awal sebanyak 5.000 KL dari Kilang Plaju dan 4.600 KL dari Kilang Kasim.
Direktur Utama Kilang Pertamina Internasional, Taufik Aditiyawarman, menegaskan bahwa produksi B40 merupakan langkah konkret untuk menyediakan energi yang lebih baik dari segi lingkungan, sosial, dan ekonomi.
“B40 tidak hanya mendukung transisi energi menuju keberlanjutan, tetapi juga menjadi kontribusi penting dalam pencapaian target net zero emission dan Sustainable Development Goals (SDGs),” ujar Taufik dalam keterangannya, Rabu (15/1/2025).
VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, menambahkan bahwa B40 akan menjadi solusi bahan bakar ramah lingkungan bagi masyarakat.
“Kami berkomitmen memperluas distribusi B40 melalui jaringan SPBU Pertamina, guna mendukung percepatan transisi energi sekaligus menggerakkan perekonomian nasional,” kata Fadjar.
Langkah ini juga sejalan dengan visi Asta Cita Presiden RI Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya ketahanan energi berbasis energi terbarukan. Pemerintah bahkan telah merancang peningkatan lebih lanjut ke B50 pada 2026.
Dengan implementasi B40, Indonesia tidak hanya mengurangi ketergantungan pada impor energi fosil, tetapi juga membuka peluang besar bagi industri kelapa sawit sebagai bahan baku utama, sehingga memberikan dampak positif pada perekonomian lokal.