JAKARTA, BN NASIONAL – Pemerintah Indonesia terus memperkuat komitmen dalam mendorong transisi energi yang adil dan inklusif dengan menyiapkan strategi nasional, peta jalan Net Zero Emission (NZE), serta indikator dampak sosial yang terukur.
Hal ini disampaikan Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, Hendra Iswahyudi, dalam Workshop on Indicators for Just and Inclusive Energy Transitions yang digelar oleh International Energy Agency (IEA) bersama Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis (10/7/2025).
“Transisi energi bersih bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan inklusi masyarakat,” ujar Hendra.
Hendra menjelaskan bahwa Indonesia tengah melaksanakan enam strategi nasional serta menyusun peta jalan NZE untuk sektor energi. Dalam skenario tersebut, pemerintah menargetkan pengurangan sekitar 95% emisi dari skenario business as usual (BAU) hingga 2060, dengan sisa emisi sekitar 129 juta ton CO₂.
Strategi dekarbonisasi itu juga tercantum dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), di mana sektor energi ditargetkan mengurangi 358 juta ton CO₂ pada 2030.
“Efisiensi energi dan energi terbarukan menjadi strategi yang paling krusial serta berpotensi menyumbang mitigasi sekitar 37% dan 51% dari total emisi,” jelasnya.
Ia menambahkan, sejak 2019 Indonesia telah berhasil mencapai target emisi tahunan, dan per Juli 2025, tren capaian emisi menunjukkan arah positif mendekati target tahun ini sebesar 157 juta ton CO₂e.
Hendra turut menyoroti pentingnya pendekatan lokal dalam implementasi transisi energi, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi. Pemerintah mendorong strategi seperti manajemen energi, pengembangan energy service companies (ESCO), peningkatan kapasitas, serta kampanye publik efisiensi energi.
“Setiap provinsi, kota, dan desa memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan yang sesuai konteks lokal sangat penting agar manfaat transisi energi benar-benar dirasakan masyarakat,” tambahnya.
Di samping itu, pemerintah juga memperkuat dimensi sosial melalui berbagai program, seperti Program Gerilya dan Patriot Energi yang memberdayakan mahasiswa serta lulusan baru untuk proyek energi bersih di 98 desa terpencil. Sementara itu, Program Srikandi Energi yang didukung UK-Mentari, mendorong keterlibatan perempuan melalui pelatihan dan sertifikasi di bidang manajemen dan audit energi.
Lebih jauh, Hendra menegaskan pentingnya kerangka kerja dan indikator sosial untuk memastikan tidak ada kelompok yang tertinggal dalam proses transisi energi.
“Kita perlu tahu siapa yang mendapatkan manfaat, siapa yang tertinggal, dan bagaimana kebijakan kita dapat lebih inklusif. Inilah pentingnya lokakarya ini, sebagai landasan penyusunan kebijakan berbasis bukti,” ujarnya.
