Jakarta, BN Nasional — Perwakilan UNICEF Alice Akunga mengungkapkan, separuh dari anak-anak berusia di bawah lima tahun di Afghanistan akan kekurangan gizi parah pada 2022. Hal itu karena krisis pangan dan runtuhnya infrastruktur kesehatan di negara tersebut.
Menurut UNICEF, sepanjang 2021, lebih dari 60 ribu kasus campak dilaporkan di Afghanistan. Sebanyak 10 juta anak di sana kemungkinan telah putus sekolah, Dana 2 miliar dolar AS yang diminta UNICEF akan digunakan untuk mencegah runtuhnya sistem kesehatan, gizi, dan pelayanan sosial esensial lainnya bagi anak serta keluarga.
Dana tersebut juga akan dimanfaatkan untuk mengobati 1 juta anak dengan gizi buruk. Dengan dana itu, UNICEF turut dapat menyelenggarakan vaksinasi campak bagi 10,5 juta anak Afghanistan. Akses pendidikan bagi 7,5 juta anak pun terjamin.
“Kita harus mengingat kemanusiaan kita dan melakukan segala yang kita bisa untuk menjaga anak-anak tetap hidup, cukup makan, aman, dan belajar,” kata Alice Akunga, Selasa (7/12).
Saat ini, Afghanistan sedang menghadapi krisis ekonomi dan kemanusiaan serius. Kondisi di sana memburuk setelah Taliban mengambil alih kekuasaan negara tersebut pada pertengahan Agustus lalu. Saat Afghanistan masih morat-marit, Amerika Serikat (AS) menerapkan sanksi dengan membekukan aset asing Afghanistan senilai lebih dari 9 miliar dolar AS.
Program Pembangunan PBB (UNDP) sudah memperingatkan bahwa sektor perbankan Afghanistan berisiko runtuh. Hal itu dipicu memburuknya likuiditas dan peningkatan pinjaman bermasalah. “Sistem pembayaran keuangan dan bank Afghanistan berantakan,” kata UNDP dalam laporannya pada 22 November lalu, dikutip laman BNN Bloomberg.
UNDP mengatakan, penurunan simpanan bank harus diselesaikan dengan cepat. Hal itu guna meningkatkan kapasitas produksi Afghanistan yang terbatas dan mencegah runtuhnya sistem perbankan. Menurut analisis UNDP, rasio pinjaman bermasalah di Afghanistan naik menjadi 57 persen pada September. Perkiraan awal tahun, angkanya hanya mencapai 30 persen.
Sementara total simpanan perbankan di Afghanistan diperkirakan bakal berakhir pada 2021 sebesar 165 miliar afghani atau sekitar 1,8 miliar dolar AS. Jumlah itu turun 40 persen dari tahun lalu. “Dengan kondisi saat ini, rasio NPL (Non-Performing Loan) tampaknya meningkat, yang kemungkinan akan menyebabkan runtuhnya UMKM dan sektor perbankan,” kata UNDP.
Kepala UNDP Afghanistan Abdallah al Dardari mengatakan, tantangan lain yang dihadapi Afghanistan adalah hilangnya kapasitas pembiayaan perdagangan. “Karena sebagian besar impor pangan dibiayai melalui sistem perbankan,” ujarnya.
Dia menjelaskan, PBB dan organisasi internasional membutuhkan sektor perbankan yang berfungsi untuk menyalurkan bantuan keuangan guna mengatasi krisis kemanusiaan di Afghanistan. Al Dardari mengatakan, Afghanistan dapat menghadapi kelaparan yang merajalela. Kecuali masyarakat internasional mengambil tindakan segera untuk membantu sektor keuangan.