TANGERANG,BN NASIONAL – Kolaborasi antara sektor hulu dan hilir migas dinilai menjadi fondasi penting dalam memperkuat pertumbuhan ekonomi, ketahanan energi, hingga ketahanan pangan nasional.
Dalam gelaran IPA Convex 2025, sejumlah pelaku industri energi menyuarakan pentingnya kesinambungan antara dua sektor strategis ini. Director & Chief Executive Officer PT Medco Energi Internasional Tbk (MedcoEnergi), Roberto Lorato menekankan bahwa bisnis hilir hanya akan tumbuh bila sektor hulu tetap hidup dan berkembang.
“Untuk bisa investasi di downstream. Untuk bisa menggerakan downstream maka upstream harus ditingkatkan. Pemerintah pasang target produksi migas tinggi di tahun 2030, yaitu 1 juta barel per hari (bph) dan 12 miliar MMscfd. Secara geologi Indonesia masih punya peluang untuk mencapai target tersebut,” ujar Roberto saat menjadi keynote speaker Plenary Session IPA Convex 2025, Rabu (21/5/2025).
Senada, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Taufik Aditiyawarman menyebut bisnis hilir memerlukan kepastian regulasi demi menarik investasi.
“Ini (refinery) harus memiliki kepastian dalam kebijakan dan juga regulasi untuk menarik investor untuk datang dan berinvestasi di negara kita. Dan bagian lain yang harus ditekankan dalam hilirisasi tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tapi minyak dan gas khususnya adalah untuk menciptakan nilai tambah,” jelas Taufik.
Lebih jauh, koneksi antara migas dan sektor pangan juga disoroti. Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi menuturkan bahwa sektor hulu migas sangat menentukan pasokan bahan baku pupuk yang menjadi fondasi ketahanan pangan.
“Fertilizer dan energi sangat erat hubungannya. Upstream perannya besar untuk ketahanan pangan. 75% fertilizer datang dari sektor upstream sehingga berkonstribusi besar ketahanan pangan,” jelas Rahmad.
Ia menyebut kebutuhan gas pupuk nasional akan meningkat tajam dari 821 BBTUD saat ini menjadi 1.342 BBTUD di tahun 2030–2051. Namun, harga gas domestik dinilai belum kompetitif.
“Indonesia atau pelaku usaha hilir pupuk atau gas Indonesia tidak mendapatkan harga gas terbaik secara global. Kami sebenarnya sedang menjajaki beberapa peluang di Afrika Utara dan Amerika Utara, di mana harga gas cukup rendah,” ujarnya.
Dari sisi investor global, Presiden Direktur Mubadala Energy Indonesia, Abdulla Bu Ali menekankan pentingnya fleksibilitas kebijakan agar investor mau beralih dari hulu ke hilir.
“Kami harus mengajukan banyak pertanyaan kepada diri sendiri. Pertama, apakah ketentuan fiskal memungkinkan kami memiliki lingkungan yang baik untuk beralih dari hulu ke bisnis hilir? Apakah infrastrukturnya tersedia dan apakah permintaannya ada? Bagaimana kebijakannya? Dan apakah ada batasan harga gas?” jelasnya.
Mubadala, menurut Abdulla, tetap mendukung program gas domestik, tetapi berharap ada insentif harga dan jaminan permintaan.
“Jika ingin melarang ekspor, kami perlu memastikan bahwa kami memiliki dua elemen kunci. Pertama adalah permintaannya ada. Kedua kami perlu memiliki harga yang kompetitif,” ujarnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Pengembangan Migas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Marcia menekankan pentingnya keseimbangan kebijakan harga.
“Kebijakan harga yang tepat yang bisa memberikan sinyal positif untuk hulu, tengah, dan hilir itu sendiri,” katanya.
Ia menambahkan, pemerintah perlu menghindari kebijakan harga populis yang hanya menekan harga hilir, dan sebaliknya harus mendorong iklim investasi di seluruh rantai pasok energi.
“Pemerintah harus mengambil tindakan konkret untuk membangun infrastruktur itu sendiri karena pasokan sektor hilir sangat bergantung pada keberadaan kapasitas infrastruktur yang cukup,” pungkas Marcia.





