JAKARTA, BN NASIONAL – Di tengah meningkatnya kebutuhan global terhadap energi hijau dan teknologi berkelanjutan, Indonesia memperkuat langkahnya dalam eksplorasi mineral radioaktif yang berkaitan erat dengan unsur tanah jarang (Rare Earth Elements/REE). Tantangan eksplorasi tersebut menuntut penguasaan teknologi canggih dan pengetahuan geosains yang mendalam.
Sebagai upaya mendukung kemajuan di bidang ini, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Teknologi Bahan Nuklir dan Limbah Radioaktif (PRTBNLR) menggelar webinar bertajuk Advancing Technology in REE-Associated Radioactive Mineral Exploration: Lessons Learned and Geophysical Perspectives
Kepala PRTBNLR BRIN, Maman Kartaman Ajiriyanto, menyampaikan komitmennya dalam memajukan teknologi eksplorasi mineral radioaktif di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Ahli Madya BRIN, Ngadenin, memaparkan secara rinci tahapan penambangan uranium, mulai dari eksplorasi hingga tahap remediasi pasca-penambangan. Ia menjelaskan bahwa proses tersebut akan menghasilkan yellow cake, bahan antara dalam siklus bahan bakar nuklir.
“Sejarah perkembangan eksplorasi uranium di Indonesia, pertama kali dilakukan di Kalimantan oleh BATAN (sebelum terintegrasi ke BRIN) bekerja sama dengan Commissariat à l’Énergie Atomique et aux Énergies Alternatives (CEA) Perancis,” kata Ngadenin dalam keterangannya, dikutip Rabu (23/4/2025).
Ngadenin juga memaparkan metode eksplorasi yang digunakan, mulai dari survei geologi, radiometri, geokimia, hingga pengeboran dan estimasi sumber daya. Ia menyebutkan peralihan teknologi yang digunakan selama proses eksplorasi.
“Alat yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi pada 1970 hingga 2010 adalah scintillometer SPP 2NF. Sementara itu, sejak 2011 digunakan alat Gamma-ray spectrometer RS-125. Kami menggunakan Gamma-ray spectrometer RS-125 karena alat ini cukup canggih. Dengan alat ini kami dapat membedakan kandungan uranium, torium, dan kalium dalam batuan yang terdeteksi,” jelasnya.
Hasil eksplorasi menunjukkan adanya mineralisasi uranium di berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Lampung, hingga Kalimantan dan Sulawesi.
“Selanjutnya di Kawat Kalimantan Timur, serta Mamuju Sulawesi Barat. Berdasarkan hasil eksplorasi hingga 2018, total sumber daya uranium yang berhasil diidentifikasi diperkirakan mencapai sekitar 81.090 ton,” ungkapnya.
Dalam sesi internasional, Dr. Gilljae Lee dari Korea Institute of Geoscience and Mineral Resources (KIGAM) membagikan pengalaman lapangan dan hasil studi kasus dari Chungju (Korea Selatan) dan Spashoren (Turki). Dua lokasi tersebut dinilai kaya unsur tanah jarang dan mineral radioaktif dengan karakter geologi yang berbeda.
“Saya ingin berbagi pengalaman di lapangan dan hasil dari dua studi kasus, yaitu Chungju di Korea Selatan dan Spashoren di Turki. Dua lokasi yang secara geologis berbeda tetapi kaya secara geokimia, serta memiliki potensi unsur tanah jarang, dan mineral radioaktif yang signifikan,” ujarnya.
Lee juga memperkenalkan konsep-konsep geokimia penting seperti high field strength elements, elemental affinity, serta pentingnya penggunaan gamma-ray spectrometer dalam survei radiometri. Ia menyoroti pentingnya modernisasi regulasi di negara-negara prospektif untuk memaksimalkan potensi tanah jarang.
“Regulasi ini mencakup karakteristik geologi, hasil survei, serta model eksplorasi yang dikembangkan,” jelasnya.
Ia juga berharap kerja sama antarnegara terus ditingkatkan. “Mengingat upaya tersebut penting untuk menjamin ketersediaan, dan memenuhi permintaan global yang terus meningkat terhadap sumber daya tanah jarang,” tambahnya.