JAKARTA, BN NASIONAL – Di tengah meningkatnya kebutuhan listrik dan tantangan krisis iklim global, pemerintah Indonesia resmi menempatkan energi nuklir sebagai bagian penting dalam bauran energi nasional untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060.
Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Syaiful Bakhri mengatakan, pemerintah Indonesia telah memasukkan energi nuklir sebagai bagian dari bauran energi nasional sampai 2060.
“Di tahun 2060, kapasitas pembangkit tenaga listrik akan didominasi sekitar 41,6 persen dari pembangkit variable renewable energy (VRE), dan sekitar 58,4 persen pembangkit dispatchable (non-VRE),” kata Syaiful dalam keterangannya, Rabu (23/4/2025).
Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, energi nuklir diproyeksikan berkontribusi sekitar 7,9 persen dari total kapasitas 443 gigawatt pembangkit listrik, dengan produksi mencapai 276 terawatt-jam atau sekitar 14,2 persen dari total produksi.
Pemerintah telah menyusun roadmap pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) secara bertahap. PLTN komersial pertama ditargetkan beroperasi pada 2032 dengan kapasitas awal 250 megawatt.
“Tren permintaan listrik di Indonesia terus meningkat. Jadi, kalau kita mau mendorong pembangunan ke depan, listrik itu salah satu komponennya,” jelas Syaiful.
“Nuklir bisa jadi bagian dari solusi untuk menyuplai listrik. Energi nuklir dapat menyediakan pasokan energi yang stabil dan berkelanjutan,” tambahnya.
BRIN mengambil posisi sentral dalam mendukung transisi ini, baik dari sisi riset, teknis, maupun regulasi.
“Di fase persiapan, kami terlibat di berbagai kegiatan level nasional. Mulai dari penyiapan Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO),” katanya.
Ia menegaskan, BRIN akan menjadi pusat keunggulan nasional dan mitra strategis pemerintah dalam berbagai tahapan pembangunan PLTN.
“BRIN akan menjadi center of excellence, menjadi rujukan teknologi pada saat pemilihan teknologi, penyiapan tapak PLTN, pembangunan konstruksi, operasi, maupun sampai decommissioning dan pengelolaan limbahnya,” jelasnya.
BRIN juga tengah meneliti teknologi reaktor terbaru seperti small modular reactors (SMRs) dan high-temperature gas-cooled reactors (HTGRs). Salah satunya adalah pengembangan reaktor HTGR bernama PeLUIT-40 yang mampu memproduksi listrik dan hidrogen.
“BRIN bersama beberapa institusi nasional di Indonesia sedang mengembangkan reaktor jenis HTGR, yaitu PeLUIT-40 berdaya 30 megawatt-elektrik,” jelas Syaiful.
Ia juga menyarankan agar Indonesia memanfaatkan reaktor kecil di wilayah kepulauan yang hanya membutuhkan daya di bawah 100 megawatt.
“Indonesia perlu mempertimbangkan reaktor kecil sebagai salah satu solusi karena pulau tertentu hanya membutuhkan listrik kurang dari 100 megawatt-elektrik atau kurang dari 300 megawatt-elektrik,” katanya.
Namun, untuk wilayah seperti Pulau Jawa dan Sumatra, ia menekankan perlunya pembangunan reaktor besar.
“Katakanlah untuk Jawa dan Sumatra, reaktor nuklir dengan daya besar atau large advance reactor harus ada,” ujarnya.
Kendati potensi energi nuklir sangat besar, tantangan non-teknis tetap menjadi penghalang utama, persepsi publik dan isu keamanan. Banyak masyarakat masih menyimpan kekhawatiran terhadap risiko kebocoran radiasi, sementara edukasi terkait teknologi nuklir masih minim.
Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi harus menjadi prioritas utama sebelum pembangunan PLTN dimulai. Keterbukaan informasi akan menjadi kunci membangun kepercayaan publik.