JAKARTA, BN NASIONAL – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan rencana inovatif untuk mengubah kelapa yang tidak layak konsumsi (kelapa reject) menjadi bahan baku bioavtur, yaitu bahan bakar pesawat terbang yang ramah lingkungan. Langkah ini diharapkan menjadi terobosan dalam pengembangan bioenergi dan mendukung transisi menuju energi terbarukan.
Direktur Bioenergi EBTKE, Edi Wibowo, menjelaskan bahwa kelapa reject masuk dalam daftar calon bahan baku untuk produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF). “Kelapa-kelapa reject itu salah satu potensi besar untuk bahan baku bioavtur,” ungkapnya dalam pertemuan di Kantor Ditjen EBTKE, Senin (9/9/2024).
Meski potensi kelapa reject sangat menjanjikan, Edi mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah industrialisasi budidaya kelapa, yang saat ini masih terbatas di perkebunan rakyat. Untuk itu, ada rencana memperluas peran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk juga mengelola komoditas lain seperti kakao dan kelapa.
“Kelapa dan kakao perlu diintegrasikan dalam hilirisasi komoditas. Jika berhasil, ini bisa membuka jalan bagi pengembangan bioavtur yang berbasis kelapa,” tambahnya.
Pengembangan bioavtur dari kelapa reject juga telah dikaji secara mendalam, baik oleh pihak akademisi di Indonesia maupun lembaga riset di Jepang. “Kajian dari Jepang dan para akademisi di dalam negeri sudah cukup mendalam, tinggal kita masukkan ke tahap implementasi,” ujar Edi.
Pengolahan kelapa reject menjadi bioavtur akan dilakukan secara bertahap, mulai dari penelitian dasar hingga uji coba di laboratorium, kemudian menuju proyek percontohan (piloting project) sebelum dikomersialisasi. Berdasarkan roadmap Kementerian ESDM, SAF akan mulai diproduksi secara massal dari berbagai bahan baku seperti Used Cooking Oil (UCO), limbah cair kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), dan kelapa reject. Targetnya, produksi SAF akan mencapai 1% dari total kebutuhan bahan bakar pada tahun 2027.
“Kita sedang mengevaluasi beberapa teknologi yang tersedia dan mana yang tercepat akan segera kita realisasikan,” jelas Edi.
Untuk mendukung rencana ini, Indonesia juga telah menjalin kerja sama dengan Jepang dalam membangun pabrik Crude Coconut Oil (CNO) di Banyuasin, Sumatera Selatan, yang akan digunakan sebagai bahan baku bioavtur. Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Dida Gardera, menjelaskan bahwa proyek ini merupakan bagian dari kampanye hilirisasi perkebunan Indonesia.
“Kerja sama dengan Jepang ini diharapkan dapat mempercepat hilirisasi dan memanfaatkan kelapa reject yang tidak layak konsumsi. Dari satu pohon kelapa, sekitar 30% buahnya tidak layak dikonsumsi, dan itu bisa dijadikan bahan baku bioavtur,” kata Dida.
Pembangunan pabrik CNO ini dipelopori oleh Indonesia-Japan Business Network (IJB-Net), dengan dukungan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) dan Green Power Development Corporation of Japan (GPDJ). “Kami berharap pabrik bioavtur di Indonesia segera terwujud, seiring dengan upaya Indonesia mengembangkan bioenergi lebih jauh,” pungkas Dida.