JAKARTA, BN NASIONAL – Indonesia dan Kanada semakin mempererat kerja sama strategis dalam sektor mineral kritis dan transisi energi melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) di Jakarta, Senin (2/12/2024).
MoU ini ditandatangani oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dan Menteri Promosi Ekspor, Perdagangan Internasional, dan Pembangunan Ekonomi Kanada Mary Ng.
Kolaborasi ini mencakup beberapa area penting, seperti penerapan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan teknologi bersih, serta peningkatan perdagangan dan investasi sektor pertambangan. Diharapkan, kerja sama ini dapat mempercepat transisi energi berkelanjutan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di kedua negara.
Dalam Energy Transition Roundtable (ETR) yang dihadiri delegasi Kanada, Bahlil menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan tambahan kapasitas listrik sebesar 61 gigawatt untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo. Saat ini, kapasitas listrik nasional berada di angka 91 gigawatt dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6%.
“RUPTL 2025-2033 kami rancang dengan target 60% energi baru terbarukan. Kami berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060, bahkan mendorong agar bisa lebih cepat pada 2050,” ujar Bahlil.
Ia juga menyoroti potensi besar Indonesia dalam energi terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kalimantan dengan kapasitas 12 gigawatt dan Papua sebesar 23 gigawatt.
Mary Ng menyatakan komitmen Kanada untuk mendukung transisi energi berkelanjutan di Indonesia. Selama lima tahun terakhir, Kanada telah mengalokasikan 5,3 miliar dolar Kanada untuk pendanaan iklim global, termasuk Indonesia.
“Komitmen kami untuk mendukung transisi energi Indonesia yang adil dan berkelanjutan bersifat substansial. Ini termasuk pendanaan iklim global kami sebesar 5,3 miliar dolar Kanada, termasuk Indonesia selama lima tahun terakhir,” ujar Mary Ng.
Kanada juga menjadi mitra dalam Just Energy Transition Partnership (JETP), yang bertujuan memobilisasi hingga USD 20 miliar untuk mendukung transisi energi Indonesia.
Bahlil menyoroti potensi pengembangan energi nuklir di Indonesia, dengan Kanada sebagai mitra yang potensial. “Kami tahu Kanada adalah salah satu negara terdepan dalam pengembangan nuklir. DPR telah menyetujui penggunaan tenaga nuklir, dan kami menargetkan regulasinya selesai pada 2025. Implementasinya akan dimulai secara bertahap pada 2032,” ungkap Bahlil.
Bahlil turut menyoroti potensi besar Indonesia dalam energi terbarukan, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). “Kami memiliki PLTA di Kalimantan (sungai Kayan) sebesar 12 gigawatt dan di Papua sebesar 23 gigawatt. Ini adalah peluang besar untuk mendukung transisi energi,” tuturnya.
Selain itu, Bahlil juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara teknologi canggih dan harga yang terjangkau. “Teknologinya boleh bagus, tapi harganya jangan terlalu mahal. Kami mencari solusi yang seimbang agar teknologi bisa diterapkan dengan nilai ekonomis yang bijak,” tambahnya.
Penandatanganan MoU ini menjadi langkah konkret untuk mempercepat transformasi energi berkelanjutan. “Kerja sama ini adalah langkah awal yang baik untuk mempercepat transformasi energi. Dengan kolaborasi yang erat, saya yakin kedua negara dapat saling bertukar teknologi dan mencapai target bersama,” kata Bahlil.