Jakarta, BN Nasional – Dewan Energi Nasional (DEN) melihat dengan rencana PT Pertamina (Persero) menghapus Pertalite akan berdampak kepada masyarakat secara tidak langsung.
Anggota DEN Satya Widya Yudha mengatakan, daya beli masyarakat menjadi konsekuensi dari rencana pencampuran 7% etanol ke dalam Pertalite dan menjadi Pertamax Green 92.
Sebab, BBM jenis Pertalite merupakan Jenis BBM Khusus Peungasan (JBKP) yang notabene mendapat kompensasi dari pemerintah untuk menggantikan BBM subsidi yang dahulu dikenal dengan nama Premium.
“Meski dalam Perpres belum eksplisit, tapi JBKP yang dahulunya diberikan pada Premium sudah dialihkan pada Pertalite. Pertalite tidak dalam posisi disubsidi, tapi dikompensasi,” kata Satya dalam acara Energy Corner di CNBC TV, Selasa (5/9/2023).
Menurutnya,rencana tersebut akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Artinya, ke depan harus ada sistem subsidi yang terbuka pada Pertamax Green 92 supaya daya beli masyarakat bisa terjangkau.
“Karena diberlakukan di Indonesia, otomatis akan berdampak pada daya beli masyarakat sehingga isunya adalah mengenai sejauh mana subsidi diberikan dalam keterjangkauan daya beli masyarakat,” jelas Satya.
Meski begitu, Satya tak menampik di sisi lain wacana penggantian Pertalite dengan Pertamax Green 92 sudah sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yakni BBM yang beredar di Indonesia setidaknya memenuhi standar Euro IV, yakni minimal RON 91.
Dengan memenuhi standar minimum itu, ia berharap Pertamax Green 92 bisa membenahi kualitas lingkungan karena emisi karbon yang keluar dari sektor transportasi bisa berkurang.
“Jadi kalau kita murni memikirkan isu lingkungan, dorongan untuk menuju RON yang lebih tinggi itu sesuai dengan yang ada di dalam RUEN kita,” katanya.
Diketahui, rencana pencampuran Pertalite dengan 7% etanol pertama kali diungkapkan oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Nicke merencanakan pihaknya tahun depan hanya akan menjual tiga produk gasoline, yakni Pertamax Green 92, Pertamax Green 95, dan Pertamax Turbo.
Rencana peluncuran Pertamax Green 92 ia sebut sejalan dengan aturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dimana BBM yang boleh dijual punya octan number minimal 91. Artinya, peluncuran produk baru itu sudah pas dari aspek lingkungan karena bisa menurunkan emisi karbon.
“Termasuk ada mandatory bioetanol, ini bioenergy bisa kita penuhi, ketiga kita menekan impor gasoline,” kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR di Jakarta, Rabu (30/8).
Langkah tersebut menjadi gambaran bahwa Pertamina lebih memilih upaya untuk menciptakan demand supaya industri etanol di dalam negeri tumbuh dan menarik bagi investor.
Dengan mendorong demand bioenergi, Nicke berharap pada tahun 2025 ada peningkatan investasi pada sektor tersebut. Apalagi, pemerintah juga sudah menerbitkan perpres guna mengalokasikan 700 ribu hektare lahan bagi swasembada gula maupun etanol.
“Dari situ kita berharap penambahan suplai 1,2 juta kl (etanol) untuk pencampuran dari gasoline,” katanya.