Tarif Karantina Dikeluhkan Meski PHRI Sebut Hotel tak Untung Secara Bisnis

by admin
7 minutes read

Jakarta, BN Nasional — “Ada laporan yang menyebut satu keluarga yang berisi lima orang harus membayar Rp 150 juta untuk menjalani karantina. Ini sangat memberatkan, bahkan sudah keterlaluan,” kata Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, dalam keterangannya, Rabu (22/12).

La Nyalla pun meminta pemerintah menetapkan batasan tarif untuk hotel yang menjadi lokasi karantina. Menurut La Nyalla, tarif hotel untuk karantina seharusnya diberlakukan seperti PCR atau swab antigen. Harus ada batasan limit termurah dan termahal.

“Harusnya pemerintah memberi patokan tertinggi harga hotel. Harus ada penetapan tarif dari pemerintah untuk kepentingan karantina yang notabene kewajiban yang dibuat pemerintah untuk masyarakat,” kata La Nyalla.

Menurut La Nyalla, tidak semua warga negara Indonesia (WNI) yang pulang dari luar negeri adalah orang kaya sehabis liburan. Ada yang berobat dan keperluan lainnya.

“Karantina sah-sah saja asal pemerintah bisa mengatasi harganya. Ibarat sembako, kalau tidak ada campur tangan pemerintah, pedagang akan seenaknya memberikan harga,” ujarnya.

Saat rapat dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada Senin (13/12) pekan lalu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily juga menyampaikan aspirasi dari masyarakat, terkait kebingungan mereka perihal kebijakan karantina. Pasalnya, kebijakan tersebut selalu berubah-ubah dalam beberapa waktu terakhir ini.

“Jangan sampai ada tuduhan masyarakat bahwa ini bisnisnya BNPB, bekerja sama dengan pemilik hotel. Jangan sampai begitu Pak, ini yang harus ditepis,” ujar Ace.

Ia bahkan menerima aduan dari masyarakat, ketika adanya paket karantina di hotel selama 10 hari dengan biaya sebesar Rp 24 juta. Menurutnya, harga sebesar itu tentu sangat memberatkan WNI yang baru pulang dari luar negeri.

“Tidak ada masalah kalau memang ada penjelasan yang transparan dan terbuka berdasarkan pada evidence based policy. Kebijakan yang berdasarkan pada bukti, pada kebutuhan, sehingga tidak menimbulkan masalah buat di masyarakat,” ujar Ace.

Sementara itu, Kepala BNPB Letjen Suharyanto menjelaskan bahwa kebijakan terkait karantina bukan dibuat oleh pihaknya. BNPB disebutnya hanya menjadi pelaksana dari keputusan para menteri.

“Jadi ini kami akan angkat ke pimpinan atas. Karena penentuan 10 hari ini berdasarkan keputusan para menteri, kami kasatgas hanya menjalankan saja,” jawab Suharyanto dalam rapat tersebut.

Satuan tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 pada Rabu (15/12) mengeluarkan Surat Edaran Satgas Covid-19 Nomor 25/2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19 yang mengatur kewajiban karantina bagi WNI dan WNA dari luar negeri. Ketentuan ini menggantikan surat edaran Nomor 23/2021 yang mewajibkan setiap pelaku perjalanan internasional melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) saat kedatangan, karantina 10 x 24 jam, dan tes ulang PCR kedua pada hari kesembilan karantina.

Surat Edaran itu menyatakan, Warga Negara Indonesia (WNI) dari 11 negara tempat transmisi komunitas varian Omicron wajib menjalani karantina 14 hari. Pengecualian kewajiban karantina hanya berlaku bagi WNA dengan kriteria pemegang visa diplomatik dan dinas, pejabat asing serta rombongan yang melakukan kunjungan kenegaraan, delegasi negara-negara anggota G-20, skema travel corridor arrangement (TCA).

“Pengecualian kewajiban karantina WNI dengan keadaan mendesak seperti memiliki kondisi kesehatan yang mengancam nyawa dan membutuhkan perhatian khusus, serta kondisi kedukaan seperti anggota keluarga inti meninggal,” ujar Juru Bicara Nasional Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adi Sasmito dalam siaran persnya, Rabu (15/12).

Wiku menambahkan penentuan lokasi karantina di wilayah Jakarta dibagi dalam dua skema. Pertama, WNI (PMI, pelajar/mahasiswa yang telah menamatkan studinya di luar negeri, ASN yang melakukan perjalanan tugas dilakukan di Wisma Pademangan, Wisma Atlet Kemayoran, Rusun Pasar Rumput, dan Rusun Nagrak. Kedua, karantina pelaku perjalanan dengan biaya mandiri dilakukan di lebih dari 105 hotel yang telah mendapatkan status CHSE dan berdasarkan rekomendasi Satgas Covid-19.

Ketentuan dispensasi pengurangan durasi karantina dan/atau pelaksanaan karantina mandiri di kediaman masing-masing, kata Wiku, dapat diberikan kepada WNI pejabat setingkat eselon I ke atas yang kembali dari perjalanan dinas di luar negeri. “Pejabat yang tidak sedang dalam perjalanan dinas ke luar negeri dan kembali ke Indonesia tidak dapat mengajukan dispensasi pengurangan durasi karantina atau pengajuan karantina mandiri dan harus melakukan karantina terpusat di hotel. Rombongan penyerta keperluan dinas, wajib melakukan karantina terpusat,” katanya.

Pengecualian dan dispensasi ini, menurut Wiku hanya berlaku individual dan harus diajukan minimal 3 hari sebelum kedatangan di Indonesia kepada Satgas Covid-19 dan berdasarkan evaluasi K/L terkait.

Ketentuan ini sejalan dengan pernyataan Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Letnan Jenderal TNI Suharyanto pada rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (13/12) dan selanjutnya diatur secara lebih rinci dalam surat edaran.

Wiku menekankan, pengawasan tetap dilakukan saat WNI menjalani karantina mandiri. “Kami memberikan sejumlah syarat yang ketat seperti kewajiban pelaporan hasil RT-PCR pada hari kesembilan karantina dan memastikan pengawasan tetap dilakukan hingga masa akhir karantina,” ujarnya.

Wiku juga menjelaskan skema pembiayaan kewajiban karantina di Indonesia bagi pelaku perjalanan internasional. Ia menyebut, ada dua skema yakni karantina yang ditanggung pemerintah dan skema pembiayaan mandiri.

“Pihak yang dapat ditanggung biaya karantinanya oleh pemerintah yaitu pekerja migran Indonesia (PMI), pelajar atau mahasiswa yang telah menamatkan studinya di luar negeri, dan pegawai pemerintah yang kembali dari perjalanan dinas di luar negeri,” ujar Wiku.

Wiku mengatakan, untuk WNI di luar kategori tersebut dan warga negara asing (WNA) termasuk diplomat asing di luar kepala perwakilan asing dan keluarganya, wajib menanggung biaya karantina secara pribadi. Biaya karantina itu sesuai durasi yang diwajibkan berdasarkan asal negara kedatangannya.

Untuk itu, pemerintah mewajibkan pelaku perjalanan internasional yang tidak ditanggung pemerintah, wajib menunjukkan bukti konfirmasi pembayaran atas pemesanan tempat akomodasi karantina selama di Indonesia. Ini agar menjamin tidak adanya pelaku perjalanan yang terbengkalai saat tiba di Indonesia.

“Maka pemerintah mewajibkan pelaku perjalanan internasional yang tidak ditanggung biaya karantinanya di fasilitas terpusat, wajib menunjukkan bukti konfirmasi pembayaran atas pemesanan tempat akomodasi karantina dari penyedia akomodasi selama menetap di Indonesia,” katanya.

Merespons polemik tarif hotel karantina, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyebut tarif karantina mandiri di hotel sama sekali tidak menguntungkan secara bisnis karena jauh di bawah standar tarif yang ada. Menurut Maulana, tarif maksimal karantina mandiri di hotel yang dipatok sekitar Rp 7,2 juta untuk hotel bintang dua dan Rp 21 juta untuk hotel kategori luxury (mewah) merupakan harga paket untuk 10 hari.

“Tidak (menguntungkan), malah lebih murah dan harganya juga tidak dinamis. Ini kan harga paket. Kelihatan mahal karena dari faktor 10 hari itu,” katanya, Rabu (22/12).

Maulana menuturkan, selain harga paket untuk 10 hari, tarif karantina yang terlihat fantastis itu juga sudah termasuk makan untuk tiga kali sehari dan laundry (binatu) untuk lima potong pakaian per hari. Ia menjabarkan, dengan tarif karantina 10 hari di hotel bintang dua mulai dari Rp 6,7 juta hingga maksimal Rp 7,2 juta, tarif kamar hanya dikenakan sekitar Rp 300 ribu per malam.

Demikian pula biaya makan yang rata-rata sekitar Rp 250 ribu per hari dan laundry Rp 45 ribu per hari. “Kalau tarif biasa kan cuma (tarif) menginap dan sarapan saja. Tidak ada makan siang atau makan malam, laundry. Makanannya pun lengkap, karena berupa paket makanan,” katanya.

Maulana menyebut tarif karantina mandiri di hotel juga meliputi biaya transportasi dari bandara ke hotel serta biaya tenaga kesehatan, keamanan juga dua kali tes PCR dengan total kira-kira Rp 1,3 juta-Rp 1,35 juta per paket. Tarif di bawah standar itu, lanjut Maulana, juga berlaku untuk paket karantina di hotel bintang lima dan luxury.

“Hotel luxury itu Rp 9 juta per paket untuk kamar saja, kalau dihitung, per malam itu hanya Rp 1 juta. Lengkap semua dengan makan dan laundry itu sekitar Rp 1,6-Rp 1,7 juta (per malam). Jadi tentu harganya di bawah tarif biasa,” katanya.M

aulana menambahkan, faktor lain yang membuat tarif berbeda untuk setiap kelas hotel yaitu biaya transportasi dari bandara ke hotel yang menggunakan taksi eksekutif dengan tarif yang lebih tinggi. “Jadi transportasinya khusus, karena harus dipastikan mereka tidak lari kemana-mana, itu sudah SOP dari pemerintah,” katanya.

Daftar hotel karantina itu dikelola oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), di mana saat ini sudah ada sekitar 150 hotel dan 16.500 kamar yang bisa digunakan untuk karantina mandiri. Secara rinci, tarif hotel karantina untuk 9 malam 10 hari untuk hotel bintang dua yakni Rp 6,7 juta hingga maksimal Rp 7,2 juta; hotel bintang tiga Rp 7,7 juta hingga Rp 9,1 juta; bintang empat Rp 9,2 juta-Rp 11,4 juta; bintang lima Rp 12,4 juta-Rp 16 juta; dan hotel luxury Rp 17 juta-Rp 21 juta.

Tarif tersebut sudah termasuk 21 persen pajak dan layanan dan berlaku untuk satu orang. Tarif juga sudah termasuk kamar, makan tiga kali sehari, laundry lima potong pakaian per hari, transportasi bandara ke hotel, tes PCR dua kali (di bandara dan di hotel), termasuk biaya nakes, keamanan dan lab selama di hotel.

Sumber.

related posts