JAKARTA, BN NASIONAL.
UNESCO secara resmi mengukuhkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia dalam Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia/World Heritage Committee (WFC) pada Senin, 18 SEptember 2023 lalu.
Keputusan ini menandai akhir dari perjalanan panjang menuju pengakuan internasional ini.
Gusti Kanjeng Ratu Bendara, Ketua Destinasi Wisata Museum Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI), menceritakan bahwa proses pengajuan Sumbu Filosofi sebagai warisan dunia di mulai sejak 13 tahun yang lalu.
“Perjuangan kita cukup panjang, sudah 12 atau 13 tahun sejak kita mulai memasukkan proposal itu ke UNESCO,” kata Bendara, Jumat (22/09/2023).
Namun, ide menjadikan Sumbu Filosofi sebagai Warisan Dunia UNESCO sudah muncul sejak 30 tahun yang lalu, saat awal kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubawana X.
“Sudah lebih dari 30 tahun yang lalu konsep Sumbu Filosofi ini di cetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubawana X. Sumbu Filosofi ini narasinya sudah kuat, tapi dari segi domestik,” katanya.
Dengan pengakuan ini oleh UNESCO, aspek arsitektural dari Sumbu Filosofi tidak dapat di ubah dan harus di jaga selamanya.
Aspek sosial dan budayanya juga harus berpatokan pada Sumbu Filosofi, karena UNESCO akan terus memantau.
“Sumbu Filosofi ini harus di akui oleh UNESCO supaya levelnya tinggi. Perjuangan awalnya bernama Filosofical Line, tetapi akhirnya di setujui sebagai Cosmological Axis,” jelas Bendara.
Keputusan ini juga akan memberikan manfaat bagi wisatawan, karena bentuk dan cerita Sumbu Filosofi akan tetap sama seiring berjalannya waktu.
Ini menggambarkan konsistensi Yogyakarta dalam melestarikan warisan budayanya.
“Karena bangunan tidak boleh berubah, mau di kunjungi sekarang atau 100 tahun lagi, pasti akan tetap sama dengan narasi cerita yang sama, karena narasi cerita ini juga di legalisasi oleh UNESCO. Tidak hanya bangunan, tetapi juga narasi cerita dan maknanya di dalamnya, itu sudah pasti konsistensi Jogja dalam penyajiannya,” jelasnya.
Keputusan UNESCO ini juga memungkinkan Yogyakarta untuk tetap menjadi penjaga budaya di tengah era digitalisasi dan modernisasi yang melanda Indonesia.
Anak muda di sana dapat mempertahankan dan memahami budaya Jogja dengan lebih baik.
“Penting bukan hanya bangunannya, tetapi yang lebih penting adalah kultur sosialnya. Dengan banyaknya digitalisasi dan modernisasi, harapannya orang Jogja tetap paham dengan Jogjanya,” katanya.(*)