JAKARTA, BN NASIONAL
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif telah dengan tegas melarang ekspor logam tanah jarang (LTJ) dalam bentuk apapun. Keputusan ini didasari oleh fakta bahwa LTJ memiliki kandungan yang sangat langka dan memiliki harga fantastis setelah diolah.
Sebanyak 0,95 persen LTJ terkandung dalam monasit, yang merupakan salah satu sisa hasil pengolahan dan pemurnian bijih timah. LTJ, yang terdiri dari 17 unsur dalam bentuk oksida, memiliki permintaan yang terus meningkat hingga tahun 2029 secara global, terutama dalam sektor-sektor seperti kesehatan, otomotif, penerbangan, pertahanan, dan teknologi.
“Larangan ekspor ini penting. Kita harus mengawasi keberadaan dan jumlah LTJ dengan ketat. Kita tidak boleh sembarangan mengekspor sumber daya yang langka ini,” untukap Arifin Tasrif.
LTJ sendiri tergolong dalam klasifikasi mineral kritis, yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu High Rare Earth Element (HRRE) dan Low Rare Earth Element (LRRE). Klasifikasi ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengelola sumber daya mineral yang langka ini.
Beberapa waktu lalu, Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya mencatat adanya dugaan penjualan LTJ dengan menggunakan izin mineral lain yang mengandung monasit. Hal ini menjadi perhatian serius karena potensi besar yang dimiliki LTJ.
Pemerintah diingatkan untuk lebih waspada terhadap mineral berharga ini dan untuk melakukan pengawasan yang ketat agar sumber daya alam Bangka Belitung dimanfaatkan secara optimal.
Sebagai respons, pemerintah telah memasukkan industri LTJ dalam Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2025-2035. Berbagai pihak telah memulai pengembangan LTJ di dalam negeri sesuai dengan target RIPIN.
Data Kementerian ESDM tahun 2020 menunjukkan bahwa potensi cadangan LTJ terbesar terdapat di Kepulauan Bangka Belitung, mencapai 207.397 ton. Hal ini membuat pengelolaan LTJ menjadi prioritas untuk mendukung industri nasional.**