Akademisi UMY Desak DPR Hentikan Revisi UU Penyiaran

Nasional1 Dilihat

JAKARTA, BN NASIONAL

Sejumlah akademisi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghentikan proses revisi Undang-Undang Penyiaran karena dinilai terburu-buru dan berpotensi membungkam kebebasan pers.

“Kami mengusulkan agar Pemerintah dan DPR RI menghentikan proses revisi. Kalau mau dibahas lagi silakan, tapi harus mulai dari awal dengan terbuka, orang diajak bicara, bukan ujug-ujug muncul mau d irevisi,” kata Senja Yustitia, pengajar Prodi Ilmu Komunikasi UMY, dalam konferensi pers di Kampus UMY, Yogyakarta, Jumat.

Menurut Senja, proses revisi UU Penyiaran seharusnya berlangsung transparan dan demokratis dengan melibatkan jurnalis, akademisi, periset media, orang-orang dalam industri penyiaran, termasuk masyarakat umum. “Prosesnya harus panjang, melelahkan, terbuka, dan demokratis karena ini tentang legislasi. Jadi tidak boleh serampangan dan terburu-buru,” ujarnya.

Senja menambahkan bahwa jika regulasi hasil revisi tersebut diratifikasi menjadi UU, maka akan berdampak pada kebebasan pers dan demokrasi masyarakat luas. “Pers itu kan pilar keempat. Jika eksekutif, yudikatif, dan legislatif tidak bisa d iharapkan, maka kita bersandar pada media,” tegasnya.

Baca juga  Kasus Harian Covid-19 Bertambah 479 Orang, Jakarta Terbanyak

Fajar Junaedi, Kaprodi Ilmu Komunikasi UMY, menyebut beberapa pasal dalam revisi UU Penyiaran berpotensi menghalangi kebebasan pers, salah satunya terkait larangan konten jurnalisme investigasi. “Padahal, jurnalisme investigasi adalah strategi pers dalam mengawasi jalannya pemerintahan di level eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” jelas Fajar.

Pasal lain yang bermasalah menurut Fajar adalah kewajiban konten siaran di internet untuk patuh pada Standar Isi Siaran (SIS), dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) d iberi wewenang untuk menyensor media sosial. “Ancaman lain adalah bahwa pemberitaan di media dapat d ijerat dengan pasal pencemaran nama baik, yang sangat mengancam kemerdekaan pers di Indonesia,” tambahnya.

Fajar juga menyoroti tumpang tindih kewenangan antara KPI dengan Dewan Pers dalam menangani sengketa produk jurnalistik. “Selama ini, berita dalam bentuk apapun adalah produk jurnalistik dan merupakan kewenangan Dewan Pers, sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” katanya.

Baca juga  KPK Respon Aduan Dugaan Pemerasan oleh Oknum Jaksa

Tri Hastuti Nur Rochimah, pengajar lain di Prodi Ilmu Komunikasi UMY, mengkritik bahwa UU Pers tidak d imasukkan sebagai konsideran dalam draf RUU Penyiaran. “Keinginan DPR untuk buru-buru mengesahkan RUU Penyiaran sebelum masa jabatannya berakhir terkesan sekadar kejar tayang tanpa melibatkan partisipasi masyarakat,” ujarnya. “Kalau ini sampai d isahkan, kami sangat khawatir peran pers sebagai pilar demokrasi akan d ikebiri dan tidak berfungsi lagi,” tambah Tri.

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi juga meminta agar revisi UU Penyiaran mengakomodasi masukan dari semua pihak, utamanya insan pers, untuk mencegah timbulnya kontroversi. “Sebagai mantan jurnalis, saya berharap agar RUU Penyiaran tidak memberikan kesan sebagai ‘wajah baru’ pembungkaman pers,” ujarnya.**

Sumber : Antaranews