Bapeten Mulai Koordinasi dengan Pemerintah Bangka Belitung untuk Penanganan Mineral Radioaktif

by admin
3 minutes read

JAKARTA, BN NASIONAL

BADAN Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) telah mulai berkoordinasi dengan pemerintah Provinsi Bangka Belitung terkait penyimpanan dan pengelolaan Mineral Terasosiasi Radioaktif (Radioactive Associated Minerals) yang di temukan dalam monasit di Bangka Belitung.

Mineral-mineral terasosiasi radioaktif ini memiliki sifat radioaktif yang dapat berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan jika tidak di kelola dengan benar. Oleh karena itu, penanganan yang aman dari mineral-mineral ini sangat penting dalam industri nuklir dan pertambangan.

Lukman Hakim, Plh Deputi Bidang Kajian Keselamatan Nuklir Bapeten, menyambut baik inisiatif DPRD Provinsi Bangka Belitung yang ingin bekerjasama dalam menjaga keselamatan masyarakat dan lingkungan di Bangka Belitung.

“Kami sudah beberapa kali pergi ke sana (Bangka Belitung). Ini adalah bukti komitmen kami dalam memantau masalah MIR,” kata Lukman saat DPRD Bangka Belitung mengunjungi kantor Bapeten di Jakarta, Selasa (26/9/2023).

Beliadi, Wakil Ketua DPRD Bangka Belitung, menyatakan bahwa Komisi III DPRD Bangka Belitung telah beberapa kali mengunjungi smelter yang memiliki mineral terasosiasi radioaktif dan telah mengajukan pertanyaan mengenai penyimpanannya.

“Kami ingin tahu bagaimana cara penyimpanan yang aman, karena kami melihatnya hanya di tumpuk begitu saja. Kami ingin memastikan bahwa tidak ada radiasi,” kata Beliadi.

“Kami ingin berinvestasi dengan aman dan nyaman, sambil tetap menjaga keselamatan masyarakat kami,” tambahnya.

Prosedur standar penyimpanan dan proses perizinan juga menjadi perhatian DPRD Bangka Belitung yang mereka ajukan kepada Bapeten.

Petit Wiringgalih, Pengawas Madya Radiasi Bapeten, menjawab pertanyaan yang di ajukan DPRD Bangka Belitung.

“Mineral Terasosiasi Radioaktif adalah mineral ikutan yang memiliki konsentrasi aktivitas minimal 1 Bq/g (satu becquerel per gram) dari salah satu unsur radioaktif yang terkait dengan deret uranium dan thorium atau 10 Bq/g (sepuluh becquerel per gram) dari unsur kalium, jelas Petit.

Mineral ini, katanya, di hasilkan melalui kegiatan pertambangan mineral dan batubara, migas, dan industri lainnya.

Masih banyak permasalahan yang perlu di atasi di bidang ini, seperti tata kelola, pengelolaan data, sumber daya manusia, infrastruktur, dan masalah limbah.

“Ketika menyangkut tata kelola, banyak operasi produksi MIR yang tidak di awasi dan keamanannya tidak terjamin,” jelaskannya.

Di tambahkannya, selain itu, aturan mengenai MIR belum merinci pendekatan multilevel bagi mineral terasosiasi radioaktif hulu yang menghasilkan kegiatan industri dan produk jadi.

Petit juga menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada prosedur pengelolaan bisnis ini yang mendukung sektor pertambangan dan industri.

“Belum ada industri MIR yang dapat meningkatkan nilai ekonomi dan mengurangi volume bahan yang mengandung MIR,” katanya.

Pentingnya pemahaman mengenai peraturan dan keamanan pengolahan MIR serta ketersediaan alat pendeteksi radiasi dan laboratorium pengujian MIR menjadi tantangan yang perlu di atasi.

Petit menyatakan bahwa pemerintah perlu mengatur mengenai penyimpanan akhir mineral terasosiasi radioaktif yang sudah tidak memiliki nilai ekonomis lagi.

Peraturan mengenai bahaya radiasi yang berasal dari mineral terasosiasi radioaktif juga harus segera di buat.

Selain itu, regulasi harus seimbang dan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, dengan tetap memperhatikan aturan keselamatan internasional.

Kolaborasi antara pemangku kepentingan merupakan kunci dalam penerapan kebijakan dan strategi pemantauan MIR di Indonesia.

Bapeten juga meminta data mengenai jumlah perusahaan yang telah memperoleh izin dan yang telah mengeksploitasi kerjasama dalam hal ini.(*)

related posts

Leave a Comment