Jakarta, BN Nasional – PT Pertamina (Persero) saat ini tengah mengkaji untuk meningkatkan kadar oktan BBM Subsidi RON 90 menjadi RON 92. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya merencanakan peluncuran produk baru dengan nama Pertamax Green 92.
Produk itu merupakan pencampuran antara Pertalite dengan 7% etanol yang bertujuan meningkatkan octan dari BBM bersubsidi tersebut. Namun, kajian yang dinamakan Program Langit Biru Tahap 2 tersebut masih dilakukan secara internal dan belum diputuskan.
“Program tersebut merupakan hasil kajian internal Pertamina, belum ada keputusan apapun dari pemerintah. Tentu ini akan kami usulkan dan akan kami bahas lebih lanjut,” kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR di Jakarta, Rabu (30/8)
Nicke menambahkan, jika nanti usulan tersebut dapat dibahas dan menjadi program pemerintah, harganya pun tentu akan diatur oleh pemerintah.
“Tidak mungkin Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) harganya diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya,” jelas Nicke.
Kajian tersebut menurut Nicke, dilakukan untuk menghasilkan kualitas BBM yang lebih baik, karena bahan bakar dengan kadar oktan yang lebih tinggi tentu akan semakin ramah lingkungan.
“Kalau misalnya dengan harga yang sama, tapi masyarakat mendapatkan yang lebih baik, dengan octan number lebih baik, sehingga untuk mesin juga lebih baik, sehingga emisi juga bisa menurun. Namun ini baru usulan sehingga tidak untuk menjadi perdebatan,” kata Nicke.
Nicke menegaskan, Program Langit Biru Tahap 2 ini masih merupakan kajian internal di Pertamina. Untuk implementasinya, akan diusulkan kepada pemerintah, dan nantinya akan jadi kewenangan pemerintah untuk memutuskan.
Di sisi lain, Nicke membeberkan bahwa rencana peluncuran produk Pertamax Green 92 itu mengikuti produk gasoline campuran etanol yang beberapa waktu lalu telah diluncurkan dan diedarkan di 17 SPBU Jakarta dan Surabaya, yakni Pertamax Green 95.
Dengan begitu, Nicke memastikan tahun depan hanya ada tiga produk gasoline yang dijual oleh Pertamina, yaitu Pertamax Green 92, Pertamax Green 95, serta Pertamax Turbo.
Dia menambahkan, rencana peluncuran Pertamax Green 92 sejalan dengan aturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dimana BBM yang boleh dijual punya minimal octan number 91. Artinya, peluncuran produk baru itu sudah pas dari aspek lingkungan karena bisa menurunkan emisi karbon.
“Termasuk ada mandatory bioetanol, ini bioenergy bisa kita penuhi, ketiga kita menekan impor gasoline,” katanya.
Langkah tersebut menjadi gambaran bahwa Pertamina lebih memilih upaya untuk menciptakan demand supaya industri etanol di dalam negeri tumbuh dan menarik bagi investor.
Dengan mendorong demand bioenergi, Nicke berharap pada tahun 2025 ada peningkatan investasi pada sektor tersebut. Apalagi, pemerintah juga sudah menerbitkan perpres guna mengalokasikan 700 ribu hektare lahan bagi swasembada gula maupun etanol.
“Dari situ kita berharap penambahan supply 1,2 juta kl (etanol) untuk pencampuran dari gasoline,” katanya.
Namun demikian, Pertamina saat ini belum berorientasi pada profitability mengingat adanya penerapan cukai sebesar Rp20.000 per liter untuk produk etanol. Penerapan cukai itu dikarenakan etanol masih dianggap sebagai pembagian dari alkohol yang notabene dikenakan bea cukai.
“Karena ini tidak digunakan untuk minuman keras, tapi untuk energi, kita mohon dukungan agar mendapat pembebasan cukai,” jelas Nicke.
Lebih lanjut, Nicke mengakui saat ini Pertamina masih mengimpor etanol setidaknya sampai investasi bioetanol tumbuh di dalam negeri. Karena itu, ia berharap mendapat pembebasan pajak impor sembari mengupayakan peningkatan produksi etanol di dalam negeri.
“Sebetulnya tidak masalah karena kita pun mengimpor gasoline, kita hanya ganti impor gasoline dengan etanol which is secara emisi lebih baik,” jelaanya.
Nicke meyakini bahwa dengan kemudahan-kemudahan, program pengembangan bioenergi sangat strategis karena bisa menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan energi sesuai sumber daya domestik yang ada, serta menangani masalah polusi lewat penurunan emisi.
“Kita juga bisa mengurangi impor secara automatically. Paralel, akan kami bangun infrastruktur baik TBBM maupun fasilitas lainnya,” katanya.