JAKARTA, BN NASIONAL.
Indonesia telah melakukan berbagai langkah untuk mengurangi emisi karbon, termasuk perdagangan karbon, pemanfaatan EBT, dan CCS. Langkah-langkah ini telah membuat Indonesia setara dengan negara-negara maju dalam hal transisi energi.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, Indonesia telah memulai perdagangan karbon dengan skala ekonomi yang baik. Pemerintah juga telah menandatangani kontrak pembangkit EBT, seperti PLTS Terapung Cirata.
Selain itu, Presiden Joko Widodo telah meresmikan groundbreaking untuk Green Ammonia dan proses pertama CCS di Sukawati.
“Banyak yang bilang di Eropa lakukan transisi energi dalam rangka menekan emisi di atmosfer, yang dilakukan Indonesia sudah masuk ke level-level negara maju,” kata Dadan di Bandung, Sabtu (16/12/2023).
Menurut Dadan, keberhasilan Indonesia dalam mengurangi emisi karbon ini tidak lepas dari dorongan kuat dari Menteri ESDM Arifin Tasrif.
“Pak Menteri ESDM memang yang menge-push agar terjadi. Apa yang terjadi di Sukawati, proses konstruksi di Bintuni, kita akan masuk ke proses-proses yang benar-benar emisi rendah untuk produksi dari amonia dengan pakai CCS,” jelas Dadan.
Saat ini, Indonesia tengah mempertimbangkan kelayakan untuk membawa CO2 dari luar negeri untuk disimpan di Indonesia. Hal ini karena Indonesia memiliki reservoir CO2 yang besar, terutama di bawah laut.
“Mereka (negara lain) yang akan menyimpan CO2nya di Indonesia tentu harus bayar. Ini jadi bisnis baru, peluang usaha CCS. Karena kita ini punya potensi besar,” ujar Dadan.
Gambaran 500 GT setara dengan 500 miliar ton CO2. Artinya, apabila emisi yang dikeluarkan PT PLN (persero) berkisar antara 300-400 juta dan sektor ESDM lainnya mengeluarkan emisi di angka 600 juta, maka tingkat ketercukupan telah mencapai hingga 900 tahun dibandingkan ketersediaan reservoir yang ada.(*)