Jakarta, BN Nasional – Kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan nilai pendanaan US$20 miliar setara dengan Rp300 triliun rupiah dari investasi publik dan swasta merupakan kesepakan yang dihasilkan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali tahun 2022 lalu.
Analis Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD) Anissa Suharsono mengatakan, pentingnya mengalihkan sebagian dana subsidi (Subsidy Swaps) publik untuk membiaya transisi energi.
“Dana JETP Rp300 triliun belum apa-apa, itu tidak akan cukup hanya sekedar katalis. Kenyataanya pembiayaan yang dibutuhkan untuk transisi energi sampai Nett Zero Emission (NZE) jauh lebih besar berkali-kali lipat,” kata Annisa dalam acara Mendorong RUPTL Hijau yang Ambisius setelah Komitmen JETP di Jakarta, Senin (21/8/2023).
Dana subsidi yang dimaksud Annisa adalah subsidi energi, insentif, dan investasi dari lembaga keuangan publik yang dapat dikendalikan langsung oleh pemerintah.
“Menurut kami sangat bisa dieksplor, publik financial flow yang paling pertama bergerak karena kendali di bawah pemerintah dan mempengaruhi,” kata Annisa.
Subsidy Swaps dari BBM ke Energi Baru Terbarukan (EBT) merupakan bentuk keseriusan pemerintah yang berkomitmen untuk melaksanakan transisi energi menuju NZE 2060.
“Menindahkan publik dari BBM ke EBT kalau pemeirntah mau serius komitmen transisi. Salah satu pengalihan bahan bakar fosil ke energi bersih ini mengirimkan sinyal yang jelas,” jelasnya.
Ia menambahkan, subsidi energi fosil merupakan penghalang untuk pengembangan EBT, konsumsi BBM semakin banyak dan menciptakan kondisi yang tidak adil untuk investor untuk berinvestasi di energi bersih.
“Subsidi energi biaya yang sulit dikontrol, karena berhubungan dengan komoditas yang diimpor. Indonesia hanya bisa mengikuti harga dunia yang sulit dikontrol. Kejadian di 2022 subsidi energi naik lima kali lipat dibanding yang dianggarkan.
Apabila subsidi energi ini dapat dialihkan, masyarakat rentan, pendidikan dan mitigasi perubahan iklim dapat diatasi.